Minggu, 27 September 2009

Asma` Binti 'Umais -radhiallaahu 'anha-

Beliau adalah Asma’ binti Ma`d bin Tamim bin Al-Haris bin Ka`ab Bin Malik bin Quhafah, dipanggil dengan nama Ummu Ubdillah. Beliau adalah termasuk salah satu di antara empat akhwat mukminah yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: "Ada empat akhwat mukminat yaitu Maimunah, Ummu Fadl, Salma dan Asma" . 

Beliau masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat yaitu Ja`far bin Abi Thalib, sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikan terhadap beliau. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja`far beliau bersabda :

‘Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (Dzul janahain).”

Asma’ termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu ja`far bin Abi Thalib menuju Habasyah, beliau merasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habasyah, an-Najasyi.

Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja`far :

“engkau menyerupai bentuk (fisik)-ku dan juga akhlakku.”

Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum Muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.

Begitulah, Asma ‘ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negri Habasyah menuju negeri Madinah. Tatkala rombongan muhajirin tiba di Madinah, ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum Muslimin dan kedatangan muhajirin dari Habsyah.

Ja`far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda :

“Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan ja`far.”

Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, ‘Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais? Umar bertanya, inikah wanita yang datang dari negeri Habasyah di seberang lautan?’ Asma menjawab, “Benar.” Umar berkata; ‘Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dari pada kalian. “Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata: “Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh diantara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habasyah, dan semua itu adalah demi keta`atan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”

Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata: “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal itu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”

Tatakala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang, maka berkata Asma’ kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya?”. Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begini”. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Asma`:

“Tiada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.”

Maka menjadi berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut lalu beliau sebarkan berita tersebut di tengah-tengah manusia, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata: “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.”

Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’ yakni Ja`far bin Abi Thalib. Di sana di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan ketiga anaknya, merekapun berkeliling di sekitar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, “Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja`far dan sahabatnya?” Beliau menjawab, “Benar, dia gugur hari ini.”

Tidak kuasa Asma’ menahan tangisnya kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghiburnya dan berkata kepadanya: “Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu.”

Selanjutnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anggota keluarga beliau: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja`far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka.”

Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar dan berteguh hati dengan menghaarapkan pahala yang agung dari Allah. Bahkan sewaktu malam beliau bercita-cita agar syahid sebagimana suaminya. terlebih lebih tatkla beliau mendengar salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata: "Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja`far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuning-kuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum terbunuh berkata:

Wahai jannah (surga) yang aku dambakan mendiaminya
harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya
tentara Romawi menghampiri liang kuburnya
terhalang jauh dari sanak keluarganya
kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya


Kemudian Ja`far memegang bendera dengan tangan kanannya tapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau membawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit di dadanya dengan kedua lengannya hingga terbunuh.

Asma` mendapatkan makna dari sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang pernah berkata kepada anaknya : "Assalamu`alaikum wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayab."

Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja`far yang terputus dengan dua sayap yang dengannya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang shalihah tersebut tekun mendidik ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh ayahnya yang telah sayahid, serta membiasakan mereka dengan tabi`at iman.

Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar Ash-Shidiq datang untuk meminang Asma` Binti Umais setelah wafatnya istri beliau Ummu Rumaan. tiada alasan lagi bagi Asma` menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq, begitulah akhirnya Asma` berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.

Setelah sekian lama beliau malangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.

Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.

Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shiddiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimemandikan oleh istrinya Asma` binti Umais, di samping itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliau berkata: "Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat."

Asma` merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, beliau tetap bersabar dan berteguh hati.

Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliau sehingga beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para muhajirin yang hadir, "Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?" mereka menjawab, "Tidak."

Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?

Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan minum kemudian berkata: "Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini."

Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja`far maupun dari Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.

Dialah Ali bin Abi Thalib saudara dari Ja`far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma` untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja`far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq.

Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja`far. Maka berpindahlah Asma` ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fatimah Az Zahra dan ternyata beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma` memiki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, "Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umais”.

Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mangaruniai anak dari Asma` yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Ja`far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, "Aku lebih baik dari pada kamu dan ayahku lebih baik dari pada ayahmu." Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma` kemudian berkata: "Putuslah antara keduanya! "

Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata: "Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik dari pada Ja`far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik dari pada Abu Bakar." Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil Asma` terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya, beliau berkata: "Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?" Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka."

Ali tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan kesatria dan akhlaq yang utama berkata: "Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu."

Akhirnya kaum mislimin memilih Ali sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan, maka untuk kedua kalinya Asma` menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasyidin yang ke empat, semoga Allah meridhai mereka semua.

Asma` turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja`far dan Muhammad bin Abu Bakar berdiri disamping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian setelah berselang beberapa lama wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma` seorang wanita mukminah tidak mungkin meyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dan hal lain-lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan memohon pertolongan dengan sabar dan shalat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma` selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.

Belum lagi tahun berganti hingga bertambah parah sakit beliau dan menjadi lemah jasmaninya dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan, kesabaran dan kekuatan.

(Diambil dari buku ‘Mengenal Shabiah Nabi’, terbitan Penerbit at-Tibyan, dengan sedikit penambahan atau pengurangan)

Senin, 14 September 2009

Abdullah bin Umar bin Khattab

Salah seorang sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu dan amal. Ia hijrah bersama ayahnya, Umar bin Khattab, dalam usia sepuluh tahun. Ia juga ipar Rasulullah SAW karena saudari kandungnya yang bernama Hafsah binti Umar adalah istri Rasulullah SAW.

Ia tampil sebagai seorang terpelajar di Madinah ketika kota tersebut bersama Basra memainkan peranan yang sangat menonjol sebagai kota-kota pusat pemikiran dan intelektualisme Islam setelah masa Nabi SAW. Ia mempelajari dan mendalami segi-segi ajaran Islam, khususnya satu bidang yang selama ini belum memperoleh perhatian yang serius, yaitu tradisi atau hadis Rasulullah SAW. Madinah, sebagai tempat tinggalnya, memberinya inspirasi dan kecenderungan alami untukmendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan dengan sangat kritis semua cerita dan anekdot tentang Nabi SAW yang dituturkan oleh penduduk Madinah. Oleh karena itu, ia bersama seorang sahabat lainnya, Abdullah bin Abbas, menjadi perintis paling awal yang membuka bidang kajian baru, yaitu bidang hadis (tradisi) Nabi SAW, disamping menghafal Al-Qur'an secara sempurna.

Sesudah Abu Hurairah, dialah yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu 2.630 hadis. Dia menerima hadis dari Nabi SAW sendiri dan para sahabat, misalnya Umar (ayahnya), Zaid (pamannya), Hafsah (saudarinya), Abu Bakar as-Siddiq, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Bilal bin Rabah, Ibnu Mas'ud, Abu Mas'ud, Abu Zar, dan Mu'az bin Jabal. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para sahabat, misalnya Jabir, Ibnu Abbas, dan putra-putranya, dan oleh para tabiin, misalnya Nafi', Said bin Musayyab, Alqamah bin Waqqas al-Lais, Abdur Rahman bin Abi Laila, dan Urwah bin Zubair.

Selama 60 tahun setelah Nabi SAW wafat, ia memberi fatwa dan meriwayatkan hadis, menghafal semua yang didengarnya dari Nabi SAW dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi SAW perihal tutur dan perbuatannya. Dengan begitu, ia dan Abdullah bin Abbas sering kali dipandang sebagai pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan Suni.

Ia termasuk salah seorang dari empat Ibadillah; tiga yang lainnya ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin As, dan Abdullah bin Zubair. Ia juga adalah salah seorang anggota dewan formatur "tanpa hak sura" dan "tanpa hak untuk dipilih", yang dibentuk oleh Khalifah Umar bin Khattab dan yang bertugas merundingkan dan menunjuk khalifah penggantinya. Pengalaman traumatiknya oleh berbagai fitnah di sekitar pergantian pucuk pimpinan kaum muslimin sejak masa al-Khulafa' ar-Rasyidun sampai masa yang dekat sesudahnya membentuknya memiliki sikap netral dalam politik, moderat, dan toleran. Ketika beberapa tokoh menunjukkan pembangkangannya terhadap Yazid, khalifah kedua Dinasti Umayyah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Abdullah bin Umar bersedia mengikuti kemauan mayoritas umat Islam, berbeda dengan sikap dua orang yang disebut pertama yang tetap membangkang dan kemudian pindah ke Mekah demi keamanan.

Karena sikap politiknya tersebut, khalifah Bani Umayyah lainnya, yakini Khalifah Abdul Malik bin Marwan, menunjukkan respek terhadapnya dan menghargai kegiatan kajiankajiankeagamaannya selaku tokoh terpelajar dan disegani di Madinah. Orang-orang memang respek dan mengaguminya karena ia terkenal sebagai orang yang berusaha semaksimal mungkin meneladani segala gerak dan prilaku Nabi SAW.

Abdullah Ibn Mas'ud dan Pencuri

Ini adalah kisah tentang salah seorang sahabat Nabi SAW. Namanya Abdullah ibn Mas'ud - semoga ALLOH meridhoinya-. Ia memang bukan sahabat biasa. Ia juga seorang ulama. Tentangnya, Rasulullah pernah berkata : "Sesungguhnya kaki (ibnu Mas'ud) di timbangan Allah pada hari kiamat itu jauh lebih berat daripada gunung Uhud."

Bagaimanakah gerangan perilaku beliau sehingga mendapatkan karunia itu ? Inilah salah satu di antaranya.

Suatu hari, beliau pergi ke pasar dengan membawa beberapa keping dirham untuk membeli sedikit makanan. Tanpa diduga, ada seorang pencuri yang mencuri dirham itu diam-diam.

Orang-orang yang mengenal Abdullah Ibn Mas'ud lalu mendoakan kesialan bagi pencuri itu. Namun beliau justru mengatakan : "Kalian jangan mendoakan kesialan untuknya. Akulah pemilik dirham-dirham itu, aku akan berdoa untuknya, dan harap kalian mau mengaminkan doaku".

Beliau kemudian mengangkat tangannya lalu berdoa :" Ya Allah ! Bila Engkau mengetahui bahwa orang yang mencuri dirhamku adalah orang yang berhajat padanya, maka berkahilah ia dengan dirham itu, dan bila Engkau mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak berhajat padanya, maka Ya Allah jadikanlah ini sebagai kemaksiatan terakhir yang ia lakukan dalam hidupnya". (Wa'akhlish Al-'Amal, hal 91)

Demikianlah tutur kata dari sebuah hati yang bersih. Dan itulah sumber dari segala ketenangan jiwa.

Sabtu, 12 September 2009

Abdullah Bin Hudzafah as-Sahmiy -radhiallaahu 'anhu-

(Dipaksa Mencium Kepala Kaisar, Asalkan Tawanan Kaum Muslimin Bebas )

"Sudah sepatutnya setiap Muslim mencium kepala Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy dan saya adalah orang pertama yang melakukannya" (Umar bin al-Kaththab)

Pemeran cerita kita kali ini adalah salah seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy. Boleh saja sejarah tidak mengangkat pembicaraan tentang tokoh ini sebagaimana telah berjuta-juta orang arab sebelumnya yang tidak pernah diangkat. Akan tetapi Islam yang agung telah menakdirkan Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy bertemu dengan para pembesar dunia pada zaman itu; Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Kisah ini kemudian diabadikan oleh sejarah sepanjang zaman.

Kisahnya bersama Kisra raja persia terjadi pada tahun ke-enam Hijriyyah ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam berkeinginan mengirimkan sekelompok para sahabatnya untuk mengantarkan surat kepada raja-raja 'Ajam (non Arab). Surat tersebut berisi ajakan beliau kepada mereka untuk memeluk Islam. Dan Rasul Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat menyadari bahwa tugas ini amat berbahaya.

Para utusan itu akan pergi ke negeri nun jauh yang belum pernah menjalin perjanjian sebelumnya. Mereka tidak mengerti bahasanya dan tidak mengetahui tabi'at-tabi'at rajanya. Kemudian mereka akan mengajak raja-raja itu untuk meninggalkan agamanya dan berpisah dengan kebesaran dan kerajaannya serta memeluk agama suatu kaum yang beberapa di antara mereka adalah penduduk wilayah yang tunduk terhadap kekuasaan mereka.

Ini adalah perjalanan yang berbahaya. Yang pergi dalam perjalanan itu akan dianggap hilang dan yang bisa kembali pulang seolah-olah dilahirkan kembali. Untuk itu Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya dan berpidato di hadapan mereka. Setelah memuji dan menyanjung Allah, bersyahadat lalu berkata:

(Amma ba'du, Sesungguhnya aku ingin mengutus sebagian kamu kepada raja-raja 'Ajam, maka janganlah kamu membantah kepadaku sebagaimana bani Israil membantah kepada Isa bin Maryam).

Maka para sahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam berkata, "Wahai Rasulullah, kami siap melaksanakan apa yang engkau kehendaki, maka utuslah kami dengan sesuka hati engkau."

Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memilih enam orang sahabatnya untuk menyampaikan surat-suratnya kepada raja-raja Arab dan 'Ajam, dan di antara ke-enam orang tersebut adalah 'Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy, ia dipilih untuk menyampaikan surat Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Kisra Persia.

'Abdullah bin Hudzafah menyiapkan kendaraannya dan berpamitan dengan istri dan anaknya, lalu bergerak melaksanakan tugasnya dengan turun dan naik gunung, sendirian tidak ada yang menemaninya kecuali Allah, hingga ia sampai ke negeri Persia, kemudian ia meminta izin masuk untuk menemui sang kisra dan menyerahkan surat kepadanya.

Sang kisrapun memerintahkan agar istananya dihiasi dan memanggil pembesar-pembesar Persia untuk hadir di kerajaannya, Kemudian 'Abdullah bin Hudzafah dipersilahkan masuk. Abdullah bin Hudzafah menemui penguasa Persia itu dengan pakaian tipis yang membalut tubuhnya yang dirangkap jubahnya yang kasar, tampak padanya kesederhanaan orang Arab. Namun ia sangat percaya diri, berdiri tegap, nampak pada penampilannya kewibawaan Islam dan bercokol dalam hatinya kebesaran Iman.

Ketika Kisra melihatnya sedang menghadapnya, ia menunjuk salah seorang ajudannya untuk mengambil surat dari tangannya, maka Abdullah berkata, "Tidak!, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam menyuruhku supaya aku menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu dan aku tidak akan mengingkari perintah Rasulullah." Lalu Kisra berkata, "Biarkan ia mendekat kepadaku." dan setelah ia mendekat kepadanya, Kisra mengambil surat dari tangannya.

Kemudian Kisra memanggil juru tulis arab dari negeri penduduk Hirah dan menyuruhnya supaya membuka surat dan membacanya di hadapannya. Dan ternyata di dalamnya,

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada Kisra pembesar Persia, kesejahteraanlah bagi orang yang mengikuti petunjuk..."

Ketika Kisra mendengar sepotong surat ini, maka menyalalah kemarahan di dadanya, mukanya merah dan otot lehernya melembung besar, karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memulai dengan menyebutkan…?, lalu ia menarik surat dari tangan juru tulisnya dan merobek-robeknya tanpa mengetahui apa yang tertulis dalam surat itu, lalu ia berteriak: Apakah ia menulis surat kepadaku dengan seperti ini, sedangkan ia adalah hambaku!!"

Lalu ia menyuruh supaya Abdullah bin Hudzafah dikeluarkan dari singgasananya, lalu ia dikeluarkan. Abdullah bin Hudzafah keluar dari kerajaan Kisra, dan ia tidak tahu apa yang akan ditakdirkan oleh Allah kepadanya...dibunuh atau dibiarkan pergi?. Akan tetapi ia masih bisa berkata, "Demi Allah aku tidak perduli terhadap keadaanku setelah aku menyampaikan surat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ." dan ia menaiki kendaraannya dan pergi.

Dan ketika Kisra telah reda dari marah, ia menyuruh supaya Abdullah dipanggil masuk kembali kepadanya, namun Abdullah tidak ditemukan... lalu mereka mencarinya akan tetapi mereka tidak menemukan jejaknya... Hingga mereka mencari di jalan yang menuju ke negeri arab dan mereka menemukannya namun ia telah jauh.

Dan ketika Abdullah menemui Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ia menceritakan apa yang terjadi tentang Kisra dan surat yang dirobek olehnya, Rasul langsung berkata, "Mudah-mudahan Allah merobek-robek kerajaan-nya."

Adapun Kisra, ia telah menulis surat kepada Badzan wakilnya yang ditugaskan di Yaman, "Utuslah dua orang prajuritmu yang kuat-kuat kepada orang yang muncul di Hijaz ini, dan perintahkanlah keduanya agar membawanya kepadaku...", maka Badzan mengutus dua orang terbaiknya kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, ia juga membekali surat untuk diberikan kepadanya, di dalam surat itu ia menyuruhnya supaya beliau berangkat bersama kedua orang itu untuk menemui Kisra dengan segera...Dan ia meminta dari kedua orang itu untuk mendengar khabar Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan memata-matainya, dan menyampaikan berita yang diperolehnya kepadanya.

Kedua orang itu segera berangkat sehingga mereka sampai ke Thaif dan menjumpai para pedagang Quraisy, lalu keduanya bertanya kepada mereka tentang Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, maka mereka menjawab, "Ia berada di Yatsrib!."

Kemudian para pedagang itu bergegas menuju ke Mekkah dengan riang untuk menyampaikan khabar gembira, mereka mengucapkan selamat bagi orang-orang Quraisy sambil berkata, "Bersenang-senanglah kalian, karena Kisra telah menangani Muhammad dan kalian bakal aman dari kejahatannya."

Adapun kedua orang tadi, mereka telah pergi menuju kota Madinah dan bertemu Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, dan memberikan surat Badzan kepadanya, dan keduanya berkata kepada beliau, Sesungguhnya raja diraja Kisra telah menulis surat kepada raja kami Badzan supaya ia mengutus orang kepadamu, orang itu akan membawamu kepadanya... Dan kami telah mendatangimu supaya kamu pergi bersama kami kepadanya, jika kamu menuruti kami, kami akan memberi tahu Kisra tentang sesuatu yang berguna bagi kamu dan ia akan menahan siksaannya darimu, dan jika kamu tidak mau, maka ia adalah orang yang kamu telah tahu keganasannya, kekerasannya dan kemampuannya untuk membinasakanmu dan kaummu. Maka Rasul Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tersenyum dan berkata kepada keduanya, "Hari ini, kembalilah kamu berdua ke tempat tendamu dan datanglah kamu berdua besok ke sini."

Dan keesokan harinya keduanya datang kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan mereka berkata kepadanya, "Apakah kamu telah siap untuk berangkat bersama kami kepada Kisra?" Beliau berkata kepada mereka berdua, "Kamu berdua tidak akan menemukan Kisra setelah hari ini... Allah telah membinasakannya, anaknya (Syirwaih) telah membunuhnya pada malam ini... di bulan ini..." Maka keduanya mencermati wajah Nabi dan mulai nampaklah keheranan di wajah mereka, dan keduanya berkata, "Apakah anda sadar apa yang anda katakan? bolehkah kami menulis hal itu kepada Badzan? Beliau menjawab, "Ya, dan katakan kepadanya Bahwa agamaku akan sampai ke seluruh kekuasaan Kisra, dan jika kamu masuk Islam aku akan memberikan apa yang kamu kuasai, dan aku jadikan kamu raja atas kaummu."

Kedua orang itu keluar dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan pulang menemui Badzan dan menyampaikan khabar; maka Badzan berkata, "Jika apa yang dikatakan Muhammad benar, maka ia adalah seorang nabi, dan jika tidak benar, maka kita akan pikirkan lagi nanti."

Tidak lama kemudian datanglah surat Syirwaih kepada Badzan, ia berkata dalam surat itu, "Amma ba'du, aku telah membunuh Kisra, dan aku tidak membunuhnya kecuali karena balas dendam untuk kaumku, ia telah banyak membunuh pembesar-pembesar mereka, memboyong perempuan-perempuan mereka dan menjarah harta mereka, jika suratku ini telah datang kepadamu, maka jadilah kamu dan kaummu orang-orang yang taat kepadaku."

Ketika Badzan membaca surat Syirwaih, ia tidak melanjutkan bacaannya, akan tetapi ia melemparkannya ke sampingnya dan ia menyatakan masuk Islam, dan begitu pula orang-orangnya dari Persia yang ada di Yaman semua masuk Islam.

Ini adalah kisah pertemuan Abdullah bin Hudzafah dan Kisra raja Persia.

Lalu bagaimana pertemuannya dengan Kaisar pembesar Romawi?

Pertemuannya dengan Kaisar adalah terjadi pada zaman khalifah Umar bin al-Khaththab radliyallâhu 'anhu pada saat itu ia mempunyai kisah yang sangat indah...

Pada tahun kesembilan hijriyah Umar bin al-Khaththab mengutus pasukan untuk memerangi Romawi, dan diantaranya Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy. Kaisar pembesar Romawi sendiri telah mendengar khabar tentang pasukan-pasukan kaum muslimin yang mempunyai kebenaran iman, kekokohan aqidah dan keteguhan jiwa dalam menegakkan jalan Allah dan Rasul-Nya.

Maka Kaisar menyuruh pasukannya bahwa jika mereka mendapatkan tawanan dari kaum muslimin, supaya mereka tidak membunuhnya dan membawa kepadanya dalam keadaan hidup... Dan Allah memang telah berkehendak bahwa Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy jatuh tertawan oleh pasukan Romawi, lalu mereka membawanya kepada rajanya, dan mereka berkata, "Dia termasuk sahabat Muhammad yang lebih dahulu memeluk agamanya, dan ia telah menjadi tawanan kami, lalu kami hadirkan ia kepada engkau." Raja Romawi menatap Abdullah bin Hudzafah agak lama dan berkata, "Aku akan menawari kamu sesuatu!"

Ia berkata, "Apa itu?"

Maka ia berkata, "Aku tawari kamu untuk masuk Nasrani...jika kamu menerima aku akan membebaskan kamu, dan aku beri kamu kedudukan. Maka tawanan itu berkata dengan lantang dan yakin, Tidak!...Kematian adalah seribu kali lebih aku cintai daripada apa yang kamu tawarkan kepadaku itu!"

Maka Kaisar berkata, "Sungguh aku melihatmu sebagai orang pemberani...Jika kamu menerima tawaranku, aku beri kamu jabatan dan aku bagi kerajaanku kepadamu.

Maka tawanan yang terikat itu tersenyum dan berkata, "Demi Allah jika kamu memberiku semua apa yang kamu miliki dan semua apa yang dimiliki orang-orang arab supaya aku meninggalkan agama Muhammad dalam sekejap mata, aku tidak akan melakukannya!"

Ia berkata, "Kalau begitu aku akan membunuhmu."

Ia berkata, "Terserah kamu." Kemudian ia menyalibnya, dan ia berkata kepada para ahli panahnya dengan bahasa romawi "Panahlah dekat tangannya, sambil ia menawarinya untuk masuk nasrani, dan Abdullah menolaknya. Lalu ia berkata, "Panahlah dekat kakinya." Dan ia menawarkan kepadanya supaya ia meninggalkan agama Muhammad, tetapi ia menolak.

Setelah itu Kaisar menyuruh supaya mereka berhenti menyakitinya, dan supaya menurunkannya dari kayu salib, kemudian ia meminta supaya didatangkannya panci besar, lalu panci itu diisi dengan minyak dan diletakkan di atas api sehingga minyak itu mendidih, lalu kaisar meminta supaya didatangkan dua orang tawanan dari kaum muslimin, lalu ia menyuruh supaya salah seorang dari keduanya diceburkan di dalamnya, maka bertebaranlah dagingnya dan tulangnya nampak menganga.

Lalu Kaisar menengok ke arah Abdullah bin Hudzafah dan mengajaknya untuk memeluk agama Nasrani, akan tetapi tawaran itu ditolaknya dengan amat keras, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Dan setelah Kaisar telah putus asa, ia menyuruh supaya Abdullah diceburkan di panci yang dipakai untuk menceburkan kedua sahabatnya. Dan ketika ia telah didekatkan dengan panci itu, keluarlah air matanya, maka berkatalah orang-orang Kaisar kepada rajanya, "Ia menangis!"

Maka Kaisar menyangka bahwa ia telah jera dan berkata, Kembalikan ia kepadaku." Ketika ia telah sampai di depannya, Kaisar menawarinya untuk memeluk agama Nasrani dan ia menolak, maka Kaisar berkata, "Sialan kamu, lalu apa yang membuatmu menangis?"

Ia menjawab, "Yang membuatku menangis adalah bahwa aku berkata kepada diriku, 'Kamu diceburkan di panci ini sekarang lalu jiwamu melayang, dan sesunggungnya aku menginginkan kalau aku mempunyai nyawa sejumlah rambutku lalu diceburkan semuanya di panci ini di dalam jalan Allah.'"

Maka berkatalah Kaisar durjana itu, "Maukah kamu mencium kepalaku dan aku membebaskanmu?"

Maka Abdullah berkata, beserta semua tawanan muslim juga?"

Kaisar berkata, "Dan semua tawanan muslim juga." Abdullah berkata, Aku bergumam dalam hati, Aku mencium kepala salah satu dari musuh Allah lalu ia membebaskanku dan tawanan muslim semuanya, tidak masalah bagiku."

Lalu ia mendekatinya dan mencium kepalanya, maka raja Romawi itu menyuruh supaya tawanan-tawanan muslim dikumpulkan dan diserahkannya kepadanya, maka diserahkanlah mereka kepadanya.

Abdullah bin Hudzafah datang kepada Umar bin al-Khaththab radliyallâhu 'anhu dan menceritakan kisahnya, maka sangat bergembiralah al-Faruq, dan ketika beliau melihat tawanan-tawanan, beliau berkata, "Setiap orang islam selayaknya mencium kepala Abdullah bin Hudzafah... dan aku orang pertama yang melakukannya!" Lalu beliau berdiri dan mencium kepalanya....*

* Untuk bahan tambahan tentang biografi Abdullah bin Hudzafah, silah baca:
1. al-Ishabah fi tamyizi ash-shahabah oleh Ibnu Hajar, 2:287-288
2. as-sirah an-nabawiyyah oleh Ibnu Hisyam, tahqiq as-saqa
3. Hayatus al-Shahabah oleh Muhammad Yusuf al-Kandahlawiy, jilid 4
4. Tahdzibu at-Tahdzib, 5:185
5. Imta'ul asma', 1:308,444
6. Husnu ash-Sahabah, Hal.503
7. Muhbar, Hal.77
8. Tarikh Islam oleh adz-Dzahabiy, 2:88


Abbad bin Bisyir

Abbad bin Bisyir termasuk golongan Anshar. Ia masuk Islam di hadapan Mushab bin Umair, sahabat yang diutus Rasulullah saw. untuk berdakwah di Madinah.

Peristiwa yang menonjol tentang sahabat mulia ini adalah pada perang Dzatur Riqa' dan perang Yamamah.

Setelah perang Yamamah selesai, kaum muslimin bermalam di suatu tempat. Lalu terpilihlah Ammar bin Yasir dan Abbad bin Basyir sebagai petugas ronda. Abbad melihat Ammar bin Yasir dalam kelelahan, karena itu ia menawarkan kepadanya untuk beristirahat, sementara dirinya bertugas jaga terlebih dahulu.

Ketika ia mendapati lingkungan sekelilingnya dalam keadaan aman, ia kemudian memutuskan untuk mengisi waktunya dengan mengerjakan salat, sehingga pahala yang diperoleh menjadi berlipat.

Mulailah Abbad menunaikan salat, tapi saat ia membaca sebuah surat, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan mengenai pangkal lengannya. ia mencabut anak panah itu dan melanjutkan salatnya.

Tak lama kemudian menyusul anak panah berikutnya dan mengenai badannya, Ia pun mencabut anak panah itu dan melanjutkan kembali salatnya.

Dalam kegelapan malam yang gulita itu, sebuah anak panah melesat kembali dan mengenai tubuhnya. Abbad menarik anak panah dan mengakhiri bacaan suratnya. Lalu ketika ia sujud sementara kondisinya lemah karena sakit dan lelah, ia pun menjulurkan tangannya membangunkan orang yang ada di sekitarnya. Lalu ia bangkit dari sujudnya, membaca tasyahud dan menyelesaikan salatnya.

Ammar terbangun dengan suara kawannya yang terputus–putus menahan sakit, "Gantikan aku karena aku telah kena." Ammar segera bangkit dari tidurnya hingga menimbulkan kegaduhan dan berkata, "Subhanallah, mengapa engkau tidak membangunkanku ketika engkau terkena anak panah pertama?"

Abbad menjawab, ketika aku sedang salat tadi, aku membaca beberapa ayat Alquran yang amat mengharukan hatiku, hingga akupun tak ingin untuk memutusnya. Demi Allah, kalaulah tidak akan menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasululalh kepada kita, sungguh aku lebih suka mati daripada memutuskan bacaan ayat-ayat itu.

Suatu saat Rasulullah saw. bersabda kepada orang-orang Anshar, "Wahai golongan Anshar, kalian adalah inti, sedangkan golongan lain adalah bagai kulit ari. Maka tak mungkin aku diciderai kalian."

semenjak itu yakni semenjak Abbad bin Bisyir mendengar ucapan ini dari Rasulullah, ia pun rela menyerahkan harta dan nyawanya di jalan Allah. Maka kita temui, di arena pengurbanan, ia adalah orang pertama. Tapi di arena pembagian harta rampasan, ia sulit ditemukan.

Di samping itu ia adalah seorang ahli ibadah yang tekun, seorang pahlawan yang gigih dalam berjuang, seorang dermawan yang rela berkurban, dan seorang mukmin sejati yang telah membaktikan hidupnya untuk keimanan ini.

Keimanannya telah dikenal luas di kalangan sahabat. Aisyah ra. pernah berkata, ada tiga orang Anshar yang keutamaannya tak dapat diatasi oleh seorangpun juga, yaitu Saab bin Muadz, Useid bin Hudlair dan Abbad bin Bisyir.

Orang-orang Islam angkatan pertama mengetahui bahwa Abbad bin Bisyir mendapat karunia cahaya dari Allah. Penglihatannya yang jelas dan mendapat penerangan, dapat mengetahui tempat-tempat yang baik dan meyakinkan tanpa mencarinya dengan susah payah. Bahkan kepercayaan sahabat tentang hal ini sudah sampai pada tingkatan bahwa Abbad adalah benda yang dapat dilihat. Mereka sepakat, bila Abbad berjalan di waktu malam, muncullah berkas-berkas cahaya dari dirinya yang akan menerangi jalan yang akan ditempuhnya.

Dalam peperangan untuk memerangi kaum murtad di bawah pimpinan Musailamah Al-Kadzab, Abbad bin Bisyir mendapat amanah untuk menjadi komandan pasukan. Dalam peperangan ini, ia harus berhadapan dengan tentara Musailamah yang kejam berpengalaman.

Sehari sebelum perang Yamamah dimulai, Abbad bermimpi yang takwil mimpinya ia ketahui tak lama setelah mimpinya itu.

Abu Sa'id al-Khudri berkata, "Abbad bin Bisyir berkata kepadaku, wahai Abu Said, tadi malam saya bermimpi, saya melihat langit terbuka untukku, kemudian tertutup lagi." Saya meyakini, takwil mimpi itu adalah saya akan mengalami syahid. Abu Said berkata, sungguh itu adalah mimpi yang baik.

Lalu meletuslah perang Yamamah. Ketika ia melihat kemenangan seakan di tangan musuh, ia teringat oleh sabda Rasulullah kepaa golongan Anshar, "Kalian adalah inti, tak mungkin aku diciderai kalian."

Ucapan itu memenuhi rongga dada dan hatinya, hingga seolah-olah sekarang ini Rasulullah masih berdiri dan mengulang-ulang perkataannya. Abbad merasa bahwa tanggung jawab itu terpikul hanya di atas bahu orang-orang Anshar saja, atau di atas bahu mereka sebelum golongan lain. Ia kemudian naik ke atas bukit dan berseru, "Hai golongan Anshar, pecahkanlah sarung pedangmu dan tunjukkanlah kemampuan kalian."

Dan ketika seruannya ini dijawab oleh 400 orang pejuang, Abbad bersama Abu Dujanah dan Barra' bin Malik membawa mereka hingga taman maut, sebuah taman yang dijadian Musailamah sebagai benteng pertahanan. Pahlawan besar itupun berjuang layaknya seorang laki-laki, mukmin dan warga Anshar.

Pada hari yang mulia ini, pergilah Abbad menjumpai syahidnya. Dan benarlah mimpi yang dialaminya semalam, pintu langit terbuka untuk dirinya kemudian tertutup kembali. Selamat jalan sahabat mulia…