Senin, 28 Desember 2009

Khadijah Binti Khuwailid radhiallahu 'anha

Khadijah Binti Khuwailid radhiallahu 'anha
(Sang kekasih yang selalu dikenang jasanya)

Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun.Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.

Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah.

Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.

Akan tetapi dia merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?

Maka disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.

Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:

Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?

Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.

Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?

Muhammad : Siapa dia ?

Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid

Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.

Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.

Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa'diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.

Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu 'anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.

Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.

Kemudian Allah Ta'ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira' sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.

Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira' pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu.Selanjutnya beliay Nabi Saw keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata: "Selimutilah aku ….selimutilah aku …".

Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menjawab : "Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku".

Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: "Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.

Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.

Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: "Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar, maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung.

Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: "Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangimu. Seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah". Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apakah mereka akan mengusirku?". Waraqah menjawab: "Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…". Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.

Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.

Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam.

Beliau adalah seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya.Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya. Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ayat-ayat Al-Qur'an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah), Firman-Nya:

"Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!"(Al-Muddatstsir:1-7).

Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu 'anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau. Diantara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.

Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya,akan tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan Firman Allah Ta'ala:

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman' , sedangkan mereka tidak diuji lagi?". (Al-'Ankabut:1-2).

Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan.

Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallâhu 'anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus asa bagi seorang Mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan Allah Ta'ala :

"Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan". (Ali Imran:186).

Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya.

Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda: "Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya".

Begitulah Sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhan diatas iman. Oleh karena itu, kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka'bah; Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama kaum Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halamannya untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul seorang mujahidah yang sabar -semoga Allah meridhai beliau- tiga tahun sebelum hijrah.

Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.

Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan segala kemamapuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid".

Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sabtu, 19 Desember 2009

Ketabahan Iman Zunairah Terhadap Allah

Satu diantara hamba muslim adalah Zunairah, hamba Abu Jahal. Kerana keyakinannya itulah dia diinterogasi Abu Jahal. "Benarkah kamu telah menganut agama Islam?" tanya Abu Jahal. "Benar. Aku percaya pada seruan Muhammad, kerana itu aku mengikutinya." Jawab Zunairah.

Untuk menggoyangkan keyakinan hambanya, Abu Jahal bertanya kepada kawan-kawannya. "Hai kawan-kawan, apakah kalian juga mengikuti seruan Muhammad?" "Tidaaak," jawab mereka serempak. "Nah, sekira apa yang dibawa Muhammad itu baik, tentu mereka akan lebih dulu mengikutinya" kata Abu Jahal melecehkan hambanya.

Maka dipukullah Zunairah itu secara keji hingga matanya luka parah dan akhirnya menjadi buta. Melihat mata hambanya menjadi buta, Abu Jahal membujuknya. "Matamu menjadi buta itu akibat kau masuk Islam. Cuba kau tinggalkan agama Muhammad itu, matamu akan sembuh kembali," katanya.

Betapa sakit hati Zunairah mendengar olok-olokan itu. "Kalian semua adalah pembohong, tak bermoral. Lata dan Uzza yang kalian sembah itu tak akan boleh berbuat apa-apa. Apalagi memberi manfaat dan mudarat," katanya.

Mendengar itu, Abu Jahal semakin naik pitam. Maka dipukullah hamba itu sekeras-kerasnya dan berkata, "Wahai Zunairah. Ingatlah kepada Lata dan Uzza. Itu berhala sembahan kita sejak nenek moyang kita. Tak takutkah jika mereka nanti murka kepadamu? Tinggalkan segera agama Muhammad yang melecehkan kita." Kata Abu Jahal.

"Wahai Abu Jahal. Sebenarnya Latta dan Uzza itu buta. Lebih buta daripada mataku yang buta akibat siksaanmu ini. Meski mataku buta, Allah tak akan sulit mengembalikannya menjadi terang, tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza itu" kata Zunairah.

Berkat kekuasaan Allah. Esoknya mata Zunairah yang buta akibat siksaan Abu Jahal itu kembali sembuh sperti sedia kala. Abu Jahal yang menyaksikannya menjadi sangat hairan. Namun dasar orang tak beriman, dia malah berkata "Ini pasti kerana sihir Muhammad" katanya sambil kembali menyiksa hambanya. Untunglah datang Abu Bakar yang lalu memerdekakan Zunairah setelah memberi tebusan kepada Abu Jahal.



Kelebihan Huzaifah Al Yamani

Huzaifah Al-Yamani telah diberi oleh Rasulullah s.a.w. suatu ilmu khusus tentang mengenali orang-orang munafik serta sifat-sifatnya yang tersembunyi. Beliaulah yang pertama sekali memperkenalkan Ilmu Tasauf dan membuka jalan serta teori-teori ilmu tersebut.

Ada orang bertanya kepada Huzaifah: "Kami melihat tuan mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah kami dengar dari sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang lain. Dari mana tuan memperolehinya?"

Lalu jawabnya: "Rasulullah telah menentukannya kepadaku. Orang banyak bertanya Rasulullah s.a.w. dari hal yang baik-baik, tapi aku bertanya dari hal yang jahat-jahat agar aku mengetahuinya dan menjauhkan daripadanya. Sedang mengenai yang baik-baik aku tidak takut ketinggalan mengerjakannya. Sesungguhnya sesiapa yang tidak kenal kejahatan, ia tidak akan kenal kebaikan."

Dalam riwayat yang lain beliau berkata: "Banyak orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang pahala dan fadilat-fadilat amalan, tetapi aku bertanya Rasulullah apa yang merosakkan amalan itu."

Saiyidina Umar r.a. misalnya, enggan menyembahyangkan jenazah seseorang kalau dilihatnya Huzaifah tidak turut menyembahyangkannya. Inilah kelebihan Huzaifah Al-Yamani yang mempunyai pengetahuan tentang ilmu ghaib hingga dia tahu siapa yang munafik dan siapa yang tidak.


Sabtu, 28 November 2009

Juwairiyah Binti al-Harits -radhiallaahu 'anh

Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah.

Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi’.

Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya.

Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat kondis seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: ”Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?”. Maka dia menjawab dengan sopan: ”Apakah itu Ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab: ”Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.

‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata:”Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:”Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.

Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.

Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum.

Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu 'anha. Beliau berkata: ”Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata: ”Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?”.

“Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab:”Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.

Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.

Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.

Rabu, 25 November 2009

Juwairiyah Binti al-Harits -radhiallaahu 'anha-

Beliau adalah Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abi Dhirar bin al-Habib al-Khuza’iyah al-Mushthaliqiyyah.

Beliau adalah secantik-cantik seorang wanita. Beliau termasuk wanita yang ditawan tatkala kaum muslimin mengalahkan Bani Mushthaliq pada saat perang Muraisi’.

Hasil Undian Juwairiyyah adalah bagian untuk Tsabit Bin Qais bin syamas atau anak pamannya, tatkala itu Juwairiyyah berumur 20 tahun. Dan akhirnya beliau selamat dari kehinaan sebagai tawanan/rampasan perang dan kerendahannya. Beliau menulis untuk Tsabit bin Qais (bahwa beliau hendak menebus dirinya), kemudian mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam agar mau menolong untuk menebus dirinya.

Maka menjadi iba-lah hati Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melihat kondis seorang wanita yang mulanya adalah seorang sayyidah merdeka yang mana dia memohon beliau untuk mengentaskan ujian yang menimpa dirinya. Maka beliau bertanya kepada Juwairiyyah: ”Maukah engkau mendapatkan hal yang lebih baik dari itu ?”. Maka dia menjawab dengan sopan: ”Apakah itu Ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab: ”Aku tebus dirimu kemudian aku nikahi dirimu!”. Maka tersiratlah pada wajahnya yang cantik suatu kebahagiaan sedangkan dia hampir-hampir tidak perduli dengan kemerdekaan dia karena remehnya. Beliau menjawab:”Mau Ya Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Aku telah melakukannya”.

‘Aisyah, Ummul Mukmini berkata:”Tersebarlah berita kepada manusia bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menikahi Juwairiyyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. Maka orang-orang berkata:”Kerabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam! Maka mereka lepaskan tawanan perang yang mereka bawa, maka sungguh dengan pernikahan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan Juwairiyyah manjadi sebab dibebaskannya seratus keluarga dari Bani Mushthaliq. Maka aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah bagi kaumnya daripada Juwairiyyah.

Dan Ummul Mukminin ‘Aisyah menceritakan perihal pribadi Juwairiyyah:”Juwairiyyah adalah seorang wanita yang manis dan cantik, tiada seorangpun yang melihatnya melainkan akan jatuh hati kepadanya. Tatkala Juwairiyyah meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya sedangkan -demi Allah- aku telah melihatnya melalui pintu kamarku, maka aku merasa cemburu karena menduga bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan melihat sebagaimana yang aku lihat.

Maka masuklah pengantin wanita, Sayyidah Bani Mushthaliq kedalam rumah tangga Nubuwwah. Pada Mulanya, nama Beliau adalah Burrah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah karena khawatir dia dikatakan keluar dari biji gandum.

Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitabnya, al-Ishabah tentang kuatnya keimanan Juwairiyyah radhiallaahu 'anha. Beliau berkata: ”Ayah Juwairiyyah mendatangi Rasul dan berkata: ”Sesungguhnya anakku tidak berhak ditawan karena terlalu mulia dari hal itu. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya anakmu disuruh memilih di antara kita; apakah anda setuju?”.

“Baiklah”, katanya. Kemudian ayahnya mendatangi Juwairiyyah dan menyuruhnya untuk memilih antara dirinya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menjawab:”Aku memilih Allah dan Rasul-Nya”.

Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa akhirnya ayah beliau yang bernama al-Harits masuk Islam bersama kedua putranya dan beberapa orang dari kaumnya. Ummul Mukminin, Juwairiyyah wafat pada tahun 50 H. Ada pula yang mengatakan tahun 56 H.

Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin, Juwairiyyah karena pernikahannya dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam membawa berkah dan kebaikan yang menyebabkan kaumnya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya berpindah dari memalingkan ibadah untuk selian Allah dan kesyirikan menuju kebebasan dan cahaya Islam beserta kewibawaannya. Hal itu merupakan pelajaran bagi mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu.

Imran Bin Hushain (Menyerupai Malaikat)

Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bai'at .... Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul, maka tangan kanannya itu beroleh penghormatan besar, hingga bersumpahlah ia pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia ....

Pertanda ini merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus ....

'Imran bin Hushain radhiyallah 'anhu merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan mentaati-Nya. Walaupun ia beroleh taufik dan petunjuk Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata, ratapnya: -- "Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja ... !"

Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat ruku' dan sujud, tetapi ibadatnya, dan syukurnya itu belumlah memadai ni'mat yang mereka telah terima.

Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ya Rasulullah, kenapa kami ini ...? Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala ... !

Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kaml berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri ... ?"

Ujar RasuIuIlah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya!

Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu ... ! Tetapi, yah yang demikian itu hanya sewaktu-waktu, !"

Pembicaraan itu kedengaran oleh'Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berhenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun! Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Robbul'alamin... !

Di masa pemerintahan Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab, 'Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.

Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: "Tidak seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang datang ke Bashrah, lebih utama dari 'Imran bin Hushain ... !"

Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah, 'Imran tak sudi diganggu oleh sesuatu pun. Ia menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini lagi ... ! Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya....

Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara Kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Mu'awiyah, tidak saja 'Imran bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: -- "Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah be salah satu pihak, biar meleset atau tidak ... !"

Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya: "Tetaplah tinggal di mesjidmu ... ! Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah di rumahmu ... ! Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia... !"

Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang. Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu menggangu selama 30 tahun, tab pernah ia merasa kecewa atau mengeluh.

Bahkan tak henti-hentinya ia beribadat kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring ....

Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil ujarya: "Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paiing disukai Allah... !" Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: "Jika,kalian,telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan... !"

Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan! Karena kematian seorang Mu'min seperti 'Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-rang yang taqwa.

Kamis, 12 November 2009

Hafshoh binti 'Umar radhiallaahu 'anha

Beliau adalah Hafsah putri dari Umar bin Khaththab, seorang shahabat agung yang melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita yang disegani. Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yang pernah berhijrah dua kali, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yang masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yang ketika itu masih berumur 18 tahun. Umar benar-benar merasakan gelisah dengan adanya keadaan putrinya yang menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dengan wafatnya menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan kesedihan setiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala dia menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali. Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash Shidiq radhiallaahu 'anhu orang yang paling dicintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam karena Abu Bakar dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yang mewarisi watak bapaknya yakni bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh berserta ujian yang menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan dengan rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau menerima seorang yang masih muda dan bertaqwa, putri dari seorang laki-laki yang dijadikan oleh Allah penyebab untuk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dengan membawa kekecewaan hatinya yang hampir-hampir dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar). Kemudian dia melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang mana ketika itu istri beliau yang bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang dideritanya. Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab: "Aku belum ingin menikah saat ini". Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu untuk bertemu dengan salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman kepercayaannya yang faham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah Shallallaahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: "Hafshoh akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshoh (yaitu putri beliau Ummu Kultsum radhiallaahu 'anha-red)" Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini yang mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya, maka dengan segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada setiap orang yang dicintainya sedangkan Abu Bakar adalah orang yang pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata "janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar karena aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam; seandainya beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya. Maka Madinah mendapat barokah dengan indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan Hafshoh binti Umar pada bulan Sya'ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga. Begitulah, Hafshoh bergabung dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata: "Betapa kerdilnya engkau bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya". Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat :"Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi,maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril" (Q.S. at-Tahrim: 4). Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mentalak sekali untuk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril 'alaihissalam yang mana dia berkata: "Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga". Hafshoh pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yang mulia menghadap ar-Rafiiq al-A'la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, maka Hafshoh- lah yang dipercaya diantara Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur'an yang pertama. Hafshoh radhiallaahu 'anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta'at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus dan 'aqidahnya yang utuh. Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu'lu'ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah, maka Hafshoh adalah putri beliau yang mendapat wasiat yang beliau tinggalkan. Hafshoh wafat pada masa Mu'awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu 'anhu setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu 'anhu. Semoga Allah meridhai beliau karena beliau telah menjaga al-Qur'an al- Karim, dan beliau adalah wanita yang disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan bahwa beliau adalah istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di surga.

Asma` Binti Yazid Bin Sakan -radhiallaahu 'anha

Beliau adalah Asma` binti Yazid bin Sakan bin Rafi` bin Imri`il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris al-Anshariyysh, al-Ausiyyah al-Asyhaliyah. Beliau adalah seorang ahli hadis yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan, dien yang bagus dan ahli argumen, sehingga beliau menjuliki sebagai “juru bicara wanita”. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang pemberani, tegar dan mujahidah. Beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Asma` mendatangi Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pada tahun pertama hijrah dan beliau belum berbai`at kepadanya dengan bai`at Islam. Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam membai`at para wanita dengan ayat yang tersebut dalam surat al-Mumtahanah. Yaitu firman Allah : “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akn membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q,.s. al-Mumtahanah:12). Bai`at dari Asma` binti Yazid adalah untuk jujur dan ikhlas, sebagaimana yang disebutkan riwayatnya dalam kitab-kitab sirah bahwa Asma` mengenakan dua gelang emas yang besar, maka Nabi SAW bersabda : “Tanggalkanlah kedua gelangmu wahai Asma`, tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari api neraka?” Maka segerahlah beliau tanpa ragu-ragu dan tanpa komentar untuk mengikuti perintah Rasululah shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka beliau melepaskannya dan meletakkannya di depan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu Asma` aktif untuk mendengar hadist Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan beliau bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikan ia faham dalam urusan dien. Beliau pulalah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara thaharah bagi wanita yang selesai haidh. Beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu menanyakan sesuatu yang haq. Oleh karena itulah Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau adalah seorang wanita yang cerdas dan bagus diennya”. Beliau dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang persoalan –persoalan yang mereka hadapi. Pada suatu ketika Asma` mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan bertanya : “Wahai Rasulullah , sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslmah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta`ala mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai`atmu. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat jum`at, mengantar jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka? Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda : “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”. Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!” Kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kembalilah wahai Asma` dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang diantara mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, mengikuti (patuh terhadap) apa yang ia disetujuinya, itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki”. Maka kembalilah Asma` sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa disabdakan Rasuslullah shallallâhu 'alaihi wa sallam. Dalam dada Asma` terbetik keinginan yang kuat untuk ikut andil dalam berjihad, hanya saja kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi setelah tahun 13 Hijriyah setelah wafatnya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam hingga perang Yarmuk beliau menyertainya dengan gagah berani. Pada perang Yarmuk ini, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dengan bagian yang banyak untuk berjihad sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah, beliau membicarakan tentang perjuangan mujahidin mukminin. Beliau berkata: “Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani”. Dalam bagian lain beliau berkata: “Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu. Adapun Khaulah binti Tsa`labah berkata: Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa Tidak akan kalian lihat tawanan Tidak pula perlindungan Tidak juga keridhaan Beliau juga berkata dalam bagian lain: “Pada hari itu kaum muslimah berperang dan berhasil membunuh banyak tentara Romawi, akan tetapi mereka memukul kaum muslimin yang lari dari kancah peperangan hingga mereka kembali untuk berperang”. Dalam perang yang besar ini, Asma binti Yazid menyertai kaum muslumin bersama wanita mukminat yang lain berada di belakang para Mujahidin mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan mengobati yang terluka diantara mereka serta memompa semangat juang kaum muslimin. Akan tetapi manakala berkecamuknya perang, manakala suasana panas membara dan mata menjadi merah, ketika itu Asma` lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Beliau hanya ingat bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah dan mampu berjihad dengan mencurahkan dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya beliau tidak mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah, maka beliau membawanya dan berbaur dengan barisan kaum muslimin. Beliau memukul musuh-musuh Allah ke kanan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Hajar tentang beliau: “Dialah Asma` binti Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk, ketika itu beliau membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian beliau masih hidup selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut. Asma` keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah menghendaki beliau masih hidup setelah itu selama 17 tahun karena beliau wafat pada akhir tahun 30 Hijriyah setelah menyuguhkan kebaikan kepada umat. Semoga Allah merahmati Asma` binti Yazid bin Sakan dan memuliakan dengan hadis yang telah beliau riwayatkan bagi kita, dan dengan pengorbanan yang telah beliau usahakn, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang lain dalam mencurahkan segala kemampuan dan susah demi memperjuangkan al-Haq dan mengibarkan bendera hingga dien ini hanya bagi Allah.

Minggu, 27 September 2009

Asma` Binti 'Umais -radhiallaahu 'anha-

Beliau adalah Asma’ binti Ma`d bin Tamim bin Al-Haris bin Ka`ab Bin Malik bin Quhafah, dipanggil dengan nama Ummu Ubdillah. Beliau adalah termasuk salah satu di antara empat akhwat mukminah yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: "Ada empat akhwat mukminat yaitu Maimunah, Ummu Fadl, Salma dan Asma" . 

Beliau masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat yaitu Ja`far bin Abi Thalib, sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikan terhadap beliau. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja`far beliau bersabda :

‘Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (Dzul janahain).”

Asma’ termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu ja`far bin Abi Thalib menuju Habasyah, beliau merasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habasyah, an-Najasyi.

Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja`far :

“engkau menyerupai bentuk (fisik)-ku dan juga akhlakku.”

Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum Muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.

Begitulah, Asma ‘ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negri Habasyah menuju negeri Madinah. Tatkala rombongan muhajirin tiba di Madinah, ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum Muslimin dan kedatangan muhajirin dari Habsyah.

Ja`far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda :

“Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan ja`far.”

Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, ‘Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais? Umar bertanya, inikah wanita yang datang dari negeri Habasyah di seberang lautan?’ Asma menjawab, “Benar.” Umar berkata; ‘Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dari pada kalian. “Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata: “Tidak demi Allah, kalian bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh diantara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habasyah, dan semua itu adalah demi keta`atan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”

Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata: “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal itu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, aku akan tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”

Tatakala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam datang, maka berkata Asma’ kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya?”. Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begini”. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Asma`:

“Tiada seorangpun yang berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.”

Maka menjadi berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tersebut lalu beliau sebarkan berita tersebut di tengah-tengah manusia, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata: “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada mereka.”

Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’ yakni Ja`far bin Abi Thalib. Di sana di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan ketiga anaknya, merekapun berkeliling di sekitar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, “Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja`far dan sahabatnya?” Beliau menjawab, “Benar, dia gugur hari ini.”

Tidak kuasa Asma’ menahan tangisnya kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghiburnya dan berkata kepadanya: “Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu.”

Selanjutnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anggota keluarga beliau: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja`far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka.”

Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar dan berteguh hati dengan menghaarapkan pahala yang agung dari Allah. Bahkan sewaktu malam beliau bercita-cita agar syahid sebagimana suaminya. terlebih lebih tatkla beliau mendengar salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata: "Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja`far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuning-kuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum terbunuh berkata:

Wahai jannah (surga) yang aku dambakan mendiaminya
harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya
tentara Romawi menghampiri liang kuburnya
terhalang jauh dari sanak keluarganya
kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya


Kemudian Ja`far memegang bendera dengan tangan kanannya tapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau membawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit di dadanya dengan kedua lengannya hingga terbunuh.

Asma` mendapatkan makna dari sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang pernah berkata kepada anaknya : "Assalamu`alaikum wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayab."

Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja`far yang terputus dengan dua sayap yang dengannya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang shalihah tersebut tekun mendidik ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh ayahnya yang telah sayahid, serta membiasakan mereka dengan tabi`at iman.

Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar Ash-Shidiq datang untuk meminang Asma` Binti Umais setelah wafatnya istri beliau Ummu Rumaan. tiada alasan lagi bagi Asma` menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq, begitulah akhirnya Asma` berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.

Setelah sekian lama beliau malangsungkan pernikahan yang penuh berkah, Allah mengaruniai kepada mereka berdua seorang anak laki-laki. Mereka ingin melangsungkan haji wada`, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan meyertai haji setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintanya. Kemudian Asma` menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta mengirim pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu -ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.

Asma` senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.

Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shiddiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimemandikan oleh istrinya Asma` binti Umais, di samping itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliau berkata: "Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat."

Asma` merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja` dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma` meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta`ala, beliau tetap bersabar dan berteguh hati.

Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang yang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliau sehingga beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para muhajirin yang hadir, "Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin, apakah boleh bagiku untuk mandi?" mereka menjawab, "Tidak."

Di akhir siang sesuai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma` binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua yakni agar beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? apakah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?

Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan minum kemudian berkata: "Demi Allah aku tidak akan melanggar janjinya hari ini."

Setelah kepergian suaminya, Asma` melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja`far maupun dari Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dari harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.

Dialah Ali bin Abi Thalib saudara dari Ja`far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma` untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja`far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq.

Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja`far. Maka berpindahlah Asma` ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fatimah Az Zahra dan ternyata beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma` memiki kedudukan yang tinggi di mata Ali hingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, "Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma` binti Umais”.

Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mangaruniai anak dari Asma` yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Ja`far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, "Aku lebih baik dari pada kamu dan ayahku lebih baik dari pada ayahmu." Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma` kemudian berkata: "Putuslah antara keduanya! "

Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata: "Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik dari pada Ja`far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik dari pada Abu Bakar." Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil Asma` terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya, beliau berkata: "Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma`?" Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata: Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka."

Ali tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan kesatria dan akhlaq yang utama berkata: "Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu."

Akhirnya kaum mislimin memilih Ali sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan, maka untuk kedua kalinya Asma` menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasyidin yang ke empat, semoga Allah meridhai mereka semua.

Asma` turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang besar. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja`far dan Muhammad bin Abu Bakar berdiri disamping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian setelah berselang beberapa lama wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma` seorang wanita mukminah tidak mungkin meyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dan hal lain-lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan memohon pertolongan dengan sabar dan shalat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma` selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.

Belum lagi tahun berganti hingga bertambah parah sakit beliau dan menjadi lemah jasmaninya dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan, kesabaran dan kekuatan.

(Diambil dari buku ‘Mengenal Shabiah Nabi’, terbitan Penerbit at-Tibyan, dengan sedikit penambahan atau pengurangan)

Senin, 14 September 2009

Abdullah bin Umar bin Khattab

Salah seorang sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu dan amal. Ia hijrah bersama ayahnya, Umar bin Khattab, dalam usia sepuluh tahun. Ia juga ipar Rasulullah SAW karena saudari kandungnya yang bernama Hafsah binti Umar adalah istri Rasulullah SAW.

Ia tampil sebagai seorang terpelajar di Madinah ketika kota tersebut bersama Basra memainkan peranan yang sangat menonjol sebagai kota-kota pusat pemikiran dan intelektualisme Islam setelah masa Nabi SAW. Ia mempelajari dan mendalami segi-segi ajaran Islam, khususnya satu bidang yang selama ini belum memperoleh perhatian yang serius, yaitu tradisi atau hadis Rasulullah SAW. Madinah, sebagai tempat tinggalnya, memberinya inspirasi dan kecenderungan alami untukmendengarkan, mencatat, dan mempertimbangkan dengan sangat kritis semua cerita dan anekdot tentang Nabi SAW yang dituturkan oleh penduduk Madinah. Oleh karena itu, ia bersama seorang sahabat lainnya, Abdullah bin Abbas, menjadi perintis paling awal yang membuka bidang kajian baru, yaitu bidang hadis (tradisi) Nabi SAW, disamping menghafal Al-Qur'an secara sempurna.

Sesudah Abu Hurairah, dialah yang paling banyak meriwayatkan hadis, yaitu 2.630 hadis. Dia menerima hadis dari Nabi SAW sendiri dan para sahabat, misalnya Umar (ayahnya), Zaid (pamannya), Hafsah (saudarinya), Abu Bakar as-Siddiq, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Bilal bin Rabah, Ibnu Mas'ud, Abu Mas'ud, Abu Zar, dan Mu'az bin Jabal. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para sahabat, misalnya Jabir, Ibnu Abbas, dan putra-putranya, dan oleh para tabiin, misalnya Nafi', Said bin Musayyab, Alqamah bin Waqqas al-Lais, Abdur Rahman bin Abi Laila, dan Urwah bin Zubair.

Selama 60 tahun setelah Nabi SAW wafat, ia memberi fatwa dan meriwayatkan hadis, menghafal semua yang didengarnya dari Nabi SAW dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi SAW perihal tutur dan perbuatannya. Dengan begitu, ia dan Abdullah bin Abbas sering kali dipandang sebagai pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan Suni.

Ia termasuk salah seorang dari empat Ibadillah; tiga yang lainnya ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin As, dan Abdullah bin Zubair. Ia juga adalah salah seorang anggota dewan formatur "tanpa hak sura" dan "tanpa hak untuk dipilih", yang dibentuk oleh Khalifah Umar bin Khattab dan yang bertugas merundingkan dan menunjuk khalifah penggantinya. Pengalaman traumatiknya oleh berbagai fitnah di sekitar pergantian pucuk pimpinan kaum muslimin sejak masa al-Khulafa' ar-Rasyidun sampai masa yang dekat sesudahnya membentuknya memiliki sikap netral dalam politik, moderat, dan toleran. Ketika beberapa tokoh menunjukkan pembangkangannya terhadap Yazid, khalifah kedua Dinasti Umayyah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Abdullah bin Umar bersedia mengikuti kemauan mayoritas umat Islam, berbeda dengan sikap dua orang yang disebut pertama yang tetap membangkang dan kemudian pindah ke Mekah demi keamanan.

Karena sikap politiknya tersebut, khalifah Bani Umayyah lainnya, yakini Khalifah Abdul Malik bin Marwan, menunjukkan respek terhadapnya dan menghargai kegiatan kajiankajiankeagamaannya selaku tokoh terpelajar dan disegani di Madinah. Orang-orang memang respek dan mengaguminya karena ia terkenal sebagai orang yang berusaha semaksimal mungkin meneladani segala gerak dan prilaku Nabi SAW.

Abdullah Ibn Mas'ud dan Pencuri

Ini adalah kisah tentang salah seorang sahabat Nabi SAW. Namanya Abdullah ibn Mas'ud - semoga ALLOH meridhoinya-. Ia memang bukan sahabat biasa. Ia juga seorang ulama. Tentangnya, Rasulullah pernah berkata : "Sesungguhnya kaki (ibnu Mas'ud) di timbangan Allah pada hari kiamat itu jauh lebih berat daripada gunung Uhud."

Bagaimanakah gerangan perilaku beliau sehingga mendapatkan karunia itu ? Inilah salah satu di antaranya.

Suatu hari, beliau pergi ke pasar dengan membawa beberapa keping dirham untuk membeli sedikit makanan. Tanpa diduga, ada seorang pencuri yang mencuri dirham itu diam-diam.

Orang-orang yang mengenal Abdullah Ibn Mas'ud lalu mendoakan kesialan bagi pencuri itu. Namun beliau justru mengatakan : "Kalian jangan mendoakan kesialan untuknya. Akulah pemilik dirham-dirham itu, aku akan berdoa untuknya, dan harap kalian mau mengaminkan doaku".

Beliau kemudian mengangkat tangannya lalu berdoa :" Ya Allah ! Bila Engkau mengetahui bahwa orang yang mencuri dirhamku adalah orang yang berhajat padanya, maka berkahilah ia dengan dirham itu, dan bila Engkau mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak berhajat padanya, maka Ya Allah jadikanlah ini sebagai kemaksiatan terakhir yang ia lakukan dalam hidupnya". (Wa'akhlish Al-'Amal, hal 91)

Demikianlah tutur kata dari sebuah hati yang bersih. Dan itulah sumber dari segala ketenangan jiwa.

Sabtu, 12 September 2009

Abdullah Bin Hudzafah as-Sahmiy -radhiallaahu 'anhu-

(Dipaksa Mencium Kepala Kaisar, Asalkan Tawanan Kaum Muslimin Bebas )

"Sudah sepatutnya setiap Muslim mencium kepala Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy dan saya adalah orang pertama yang melakukannya" (Umar bin al-Kaththab)

Pemeran cerita kita kali ini adalah salah seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy. Boleh saja sejarah tidak mengangkat pembicaraan tentang tokoh ini sebagaimana telah berjuta-juta orang arab sebelumnya yang tidak pernah diangkat. Akan tetapi Islam yang agung telah menakdirkan Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy bertemu dengan para pembesar dunia pada zaman itu; Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Kisah ini kemudian diabadikan oleh sejarah sepanjang zaman.

Kisahnya bersama Kisra raja persia terjadi pada tahun ke-enam Hijriyyah ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam berkeinginan mengirimkan sekelompok para sahabatnya untuk mengantarkan surat kepada raja-raja 'Ajam (non Arab). Surat tersebut berisi ajakan beliau kepada mereka untuk memeluk Islam. Dan Rasul Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat menyadari bahwa tugas ini amat berbahaya.

Para utusan itu akan pergi ke negeri nun jauh yang belum pernah menjalin perjanjian sebelumnya. Mereka tidak mengerti bahasanya dan tidak mengetahui tabi'at-tabi'at rajanya. Kemudian mereka akan mengajak raja-raja itu untuk meninggalkan agamanya dan berpisah dengan kebesaran dan kerajaannya serta memeluk agama suatu kaum yang beberapa di antara mereka adalah penduduk wilayah yang tunduk terhadap kekuasaan mereka.

Ini adalah perjalanan yang berbahaya. Yang pergi dalam perjalanan itu akan dianggap hilang dan yang bisa kembali pulang seolah-olah dilahirkan kembali. Untuk itu Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya dan berpidato di hadapan mereka. Setelah memuji dan menyanjung Allah, bersyahadat lalu berkata:

(Amma ba'du, Sesungguhnya aku ingin mengutus sebagian kamu kepada raja-raja 'Ajam, maka janganlah kamu membantah kepadaku sebagaimana bani Israil membantah kepada Isa bin Maryam).

Maka para sahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam berkata, "Wahai Rasulullah, kami siap melaksanakan apa yang engkau kehendaki, maka utuslah kami dengan sesuka hati engkau."

Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memilih enam orang sahabatnya untuk menyampaikan surat-suratnya kepada raja-raja Arab dan 'Ajam, dan di antara ke-enam orang tersebut adalah 'Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy, ia dipilih untuk menyampaikan surat Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Kisra Persia.

'Abdullah bin Hudzafah menyiapkan kendaraannya dan berpamitan dengan istri dan anaknya, lalu bergerak melaksanakan tugasnya dengan turun dan naik gunung, sendirian tidak ada yang menemaninya kecuali Allah, hingga ia sampai ke negeri Persia, kemudian ia meminta izin masuk untuk menemui sang kisra dan menyerahkan surat kepadanya.

Sang kisrapun memerintahkan agar istananya dihiasi dan memanggil pembesar-pembesar Persia untuk hadir di kerajaannya, Kemudian 'Abdullah bin Hudzafah dipersilahkan masuk. Abdullah bin Hudzafah menemui penguasa Persia itu dengan pakaian tipis yang membalut tubuhnya yang dirangkap jubahnya yang kasar, tampak padanya kesederhanaan orang Arab. Namun ia sangat percaya diri, berdiri tegap, nampak pada penampilannya kewibawaan Islam dan bercokol dalam hatinya kebesaran Iman.

Ketika Kisra melihatnya sedang menghadapnya, ia menunjuk salah seorang ajudannya untuk mengambil surat dari tangannya, maka Abdullah berkata, "Tidak!, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam menyuruhku supaya aku menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu dan aku tidak akan mengingkari perintah Rasulullah." Lalu Kisra berkata, "Biarkan ia mendekat kepadaku." dan setelah ia mendekat kepadanya, Kisra mengambil surat dari tangannya.

Kemudian Kisra memanggil juru tulis arab dari negeri penduduk Hirah dan menyuruhnya supaya membuka surat dan membacanya di hadapannya. Dan ternyata di dalamnya,

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada Kisra pembesar Persia, kesejahteraanlah bagi orang yang mengikuti petunjuk..."

Ketika Kisra mendengar sepotong surat ini, maka menyalalah kemarahan di dadanya, mukanya merah dan otot lehernya melembung besar, karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam memulai dengan menyebutkan…?, lalu ia menarik surat dari tangan juru tulisnya dan merobek-robeknya tanpa mengetahui apa yang tertulis dalam surat itu, lalu ia berteriak: Apakah ia menulis surat kepadaku dengan seperti ini, sedangkan ia adalah hambaku!!"

Lalu ia menyuruh supaya Abdullah bin Hudzafah dikeluarkan dari singgasananya, lalu ia dikeluarkan. Abdullah bin Hudzafah keluar dari kerajaan Kisra, dan ia tidak tahu apa yang akan ditakdirkan oleh Allah kepadanya...dibunuh atau dibiarkan pergi?. Akan tetapi ia masih bisa berkata, "Demi Allah aku tidak perduli terhadap keadaanku setelah aku menyampaikan surat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ." dan ia menaiki kendaraannya dan pergi.

Dan ketika Kisra telah reda dari marah, ia menyuruh supaya Abdullah dipanggil masuk kembali kepadanya, namun Abdullah tidak ditemukan... lalu mereka mencarinya akan tetapi mereka tidak menemukan jejaknya... Hingga mereka mencari di jalan yang menuju ke negeri arab dan mereka menemukannya namun ia telah jauh.

Dan ketika Abdullah menemui Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam ia menceritakan apa yang terjadi tentang Kisra dan surat yang dirobek olehnya, Rasul langsung berkata, "Mudah-mudahan Allah merobek-robek kerajaan-nya."

Adapun Kisra, ia telah menulis surat kepada Badzan wakilnya yang ditugaskan di Yaman, "Utuslah dua orang prajuritmu yang kuat-kuat kepada orang yang muncul di Hijaz ini, dan perintahkanlah keduanya agar membawanya kepadaku...", maka Badzan mengutus dua orang terbaiknya kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, ia juga membekali surat untuk diberikan kepadanya, di dalam surat itu ia menyuruhnya supaya beliau berangkat bersama kedua orang itu untuk menemui Kisra dengan segera...Dan ia meminta dari kedua orang itu untuk mendengar khabar Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan memata-matainya, dan menyampaikan berita yang diperolehnya kepadanya.

Kedua orang itu segera berangkat sehingga mereka sampai ke Thaif dan menjumpai para pedagang Quraisy, lalu keduanya bertanya kepada mereka tentang Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, maka mereka menjawab, "Ia berada di Yatsrib!."

Kemudian para pedagang itu bergegas menuju ke Mekkah dengan riang untuk menyampaikan khabar gembira, mereka mengucapkan selamat bagi orang-orang Quraisy sambil berkata, "Bersenang-senanglah kalian, karena Kisra telah menangani Muhammad dan kalian bakal aman dari kejahatannya."

Adapun kedua orang tadi, mereka telah pergi menuju kota Madinah dan bertemu Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, dan memberikan surat Badzan kepadanya, dan keduanya berkata kepada beliau, Sesungguhnya raja diraja Kisra telah menulis surat kepada raja kami Badzan supaya ia mengutus orang kepadamu, orang itu akan membawamu kepadanya... Dan kami telah mendatangimu supaya kamu pergi bersama kami kepadanya, jika kamu menuruti kami, kami akan memberi tahu Kisra tentang sesuatu yang berguna bagi kamu dan ia akan menahan siksaannya darimu, dan jika kamu tidak mau, maka ia adalah orang yang kamu telah tahu keganasannya, kekerasannya dan kemampuannya untuk membinasakanmu dan kaummu. Maka Rasul Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tersenyum dan berkata kepada keduanya, "Hari ini, kembalilah kamu berdua ke tempat tendamu dan datanglah kamu berdua besok ke sini."

Dan keesokan harinya keduanya datang kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan mereka berkata kepadanya, "Apakah kamu telah siap untuk berangkat bersama kami kepada Kisra?" Beliau berkata kepada mereka berdua, "Kamu berdua tidak akan menemukan Kisra setelah hari ini... Allah telah membinasakannya, anaknya (Syirwaih) telah membunuhnya pada malam ini... di bulan ini..." Maka keduanya mencermati wajah Nabi dan mulai nampaklah keheranan di wajah mereka, dan keduanya berkata, "Apakah anda sadar apa yang anda katakan? bolehkah kami menulis hal itu kepada Badzan? Beliau menjawab, "Ya, dan katakan kepadanya Bahwa agamaku akan sampai ke seluruh kekuasaan Kisra, dan jika kamu masuk Islam aku akan memberikan apa yang kamu kuasai, dan aku jadikan kamu raja atas kaummu."

Kedua orang itu keluar dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan pulang menemui Badzan dan menyampaikan khabar; maka Badzan berkata, "Jika apa yang dikatakan Muhammad benar, maka ia adalah seorang nabi, dan jika tidak benar, maka kita akan pikirkan lagi nanti."

Tidak lama kemudian datanglah surat Syirwaih kepada Badzan, ia berkata dalam surat itu, "Amma ba'du, aku telah membunuh Kisra, dan aku tidak membunuhnya kecuali karena balas dendam untuk kaumku, ia telah banyak membunuh pembesar-pembesar mereka, memboyong perempuan-perempuan mereka dan menjarah harta mereka, jika suratku ini telah datang kepadamu, maka jadilah kamu dan kaummu orang-orang yang taat kepadaku."

Ketika Badzan membaca surat Syirwaih, ia tidak melanjutkan bacaannya, akan tetapi ia melemparkannya ke sampingnya dan ia menyatakan masuk Islam, dan begitu pula orang-orangnya dari Persia yang ada di Yaman semua masuk Islam.

Ini adalah kisah pertemuan Abdullah bin Hudzafah dan Kisra raja Persia.

Lalu bagaimana pertemuannya dengan Kaisar pembesar Romawi?

Pertemuannya dengan Kaisar adalah terjadi pada zaman khalifah Umar bin al-Khaththab radliyallâhu 'anhu pada saat itu ia mempunyai kisah yang sangat indah...

Pada tahun kesembilan hijriyah Umar bin al-Khaththab mengutus pasukan untuk memerangi Romawi, dan diantaranya Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy. Kaisar pembesar Romawi sendiri telah mendengar khabar tentang pasukan-pasukan kaum muslimin yang mempunyai kebenaran iman, kekokohan aqidah dan keteguhan jiwa dalam menegakkan jalan Allah dan Rasul-Nya.

Maka Kaisar menyuruh pasukannya bahwa jika mereka mendapatkan tawanan dari kaum muslimin, supaya mereka tidak membunuhnya dan membawa kepadanya dalam keadaan hidup... Dan Allah memang telah berkehendak bahwa Abdullah bin Hudzafah as-Sahmiy jatuh tertawan oleh pasukan Romawi, lalu mereka membawanya kepada rajanya, dan mereka berkata, "Dia termasuk sahabat Muhammad yang lebih dahulu memeluk agamanya, dan ia telah menjadi tawanan kami, lalu kami hadirkan ia kepada engkau." Raja Romawi menatap Abdullah bin Hudzafah agak lama dan berkata, "Aku akan menawari kamu sesuatu!"

Ia berkata, "Apa itu?"

Maka ia berkata, "Aku tawari kamu untuk masuk Nasrani...jika kamu menerima aku akan membebaskan kamu, dan aku beri kamu kedudukan. Maka tawanan itu berkata dengan lantang dan yakin, Tidak!...Kematian adalah seribu kali lebih aku cintai daripada apa yang kamu tawarkan kepadaku itu!"

Maka Kaisar berkata, "Sungguh aku melihatmu sebagai orang pemberani...Jika kamu menerima tawaranku, aku beri kamu jabatan dan aku bagi kerajaanku kepadamu.

Maka tawanan yang terikat itu tersenyum dan berkata, "Demi Allah jika kamu memberiku semua apa yang kamu miliki dan semua apa yang dimiliki orang-orang arab supaya aku meninggalkan agama Muhammad dalam sekejap mata, aku tidak akan melakukannya!"

Ia berkata, "Kalau begitu aku akan membunuhmu."

Ia berkata, "Terserah kamu." Kemudian ia menyalibnya, dan ia berkata kepada para ahli panahnya dengan bahasa romawi "Panahlah dekat tangannya, sambil ia menawarinya untuk masuk nasrani, dan Abdullah menolaknya. Lalu ia berkata, "Panahlah dekat kakinya." Dan ia menawarkan kepadanya supaya ia meninggalkan agama Muhammad, tetapi ia menolak.

Setelah itu Kaisar menyuruh supaya mereka berhenti menyakitinya, dan supaya menurunkannya dari kayu salib, kemudian ia meminta supaya didatangkannya panci besar, lalu panci itu diisi dengan minyak dan diletakkan di atas api sehingga minyak itu mendidih, lalu kaisar meminta supaya didatangkan dua orang tawanan dari kaum muslimin, lalu ia menyuruh supaya salah seorang dari keduanya diceburkan di dalamnya, maka bertebaranlah dagingnya dan tulangnya nampak menganga.

Lalu Kaisar menengok ke arah Abdullah bin Hudzafah dan mengajaknya untuk memeluk agama Nasrani, akan tetapi tawaran itu ditolaknya dengan amat keras, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Dan setelah Kaisar telah putus asa, ia menyuruh supaya Abdullah diceburkan di panci yang dipakai untuk menceburkan kedua sahabatnya. Dan ketika ia telah didekatkan dengan panci itu, keluarlah air matanya, maka berkatalah orang-orang Kaisar kepada rajanya, "Ia menangis!"

Maka Kaisar menyangka bahwa ia telah jera dan berkata, Kembalikan ia kepadaku." Ketika ia telah sampai di depannya, Kaisar menawarinya untuk memeluk agama Nasrani dan ia menolak, maka Kaisar berkata, "Sialan kamu, lalu apa yang membuatmu menangis?"

Ia menjawab, "Yang membuatku menangis adalah bahwa aku berkata kepada diriku, 'Kamu diceburkan di panci ini sekarang lalu jiwamu melayang, dan sesunggungnya aku menginginkan kalau aku mempunyai nyawa sejumlah rambutku lalu diceburkan semuanya di panci ini di dalam jalan Allah.'"

Maka berkatalah Kaisar durjana itu, "Maukah kamu mencium kepalaku dan aku membebaskanmu?"

Maka Abdullah berkata, beserta semua tawanan muslim juga?"

Kaisar berkata, "Dan semua tawanan muslim juga." Abdullah berkata, Aku bergumam dalam hati, Aku mencium kepala salah satu dari musuh Allah lalu ia membebaskanku dan tawanan muslim semuanya, tidak masalah bagiku."

Lalu ia mendekatinya dan mencium kepalanya, maka raja Romawi itu menyuruh supaya tawanan-tawanan muslim dikumpulkan dan diserahkannya kepadanya, maka diserahkanlah mereka kepadanya.

Abdullah bin Hudzafah datang kepada Umar bin al-Khaththab radliyallâhu 'anhu dan menceritakan kisahnya, maka sangat bergembiralah al-Faruq, dan ketika beliau melihat tawanan-tawanan, beliau berkata, "Setiap orang islam selayaknya mencium kepala Abdullah bin Hudzafah... dan aku orang pertama yang melakukannya!" Lalu beliau berdiri dan mencium kepalanya....*

* Untuk bahan tambahan tentang biografi Abdullah bin Hudzafah, silah baca:
1. al-Ishabah fi tamyizi ash-shahabah oleh Ibnu Hajar, 2:287-288
2. as-sirah an-nabawiyyah oleh Ibnu Hisyam, tahqiq as-saqa
3. Hayatus al-Shahabah oleh Muhammad Yusuf al-Kandahlawiy, jilid 4
4. Tahdzibu at-Tahdzib, 5:185
5. Imta'ul asma', 1:308,444
6. Husnu ash-Sahabah, Hal.503
7. Muhbar, Hal.77
8. Tarikh Islam oleh adz-Dzahabiy, 2:88